Naiknya Harga Jual Kayu Legal

AGUS Sumantri sudah tak sabar memetik hasil. Pohon-pohon sengon yang ditanam anggota gabungan kelompok petani (Gapoktan) Maju Sejahtera Kampung Pekandangan, Lampung Tengah ini rata-rata telah berusia antara 5 hingga 8 tahun.

“Kami sedang bersiap-siap untuk menebang dan menjual kayu,” ujar Agus yang ditemui di sela Kongres Kehutanan Indonesia V di Manggala Wanabakti, Jakarta, 23 November 2011.

Pohon-pohon yang ditanam Agus telah mendapat sertifikat legal. Tak cuma Agus. Pohon yang dimiliki sekitar 20an petani dengan luas lahan sekitar 22 hektare di kampung pekandangan juga mendapat sertifikat. Dari 22 hektare ini, diperkirakan akan menghasilkan sebanyak 6.000 kubik kayu.

Selain desa Agus, puluhan petani di empat kampung di luar Pekandangan tengah menunggu penyelesaian proses sertifikasi dengan total lahan lebih dari 250 hektare. Para petani ini tergiur dengan keuntungan dari menjual kayu-kayu yang memiliki sertifikat.

Menurut Agus, harga jual kayu bersertifikat di pasaran lebih tinggi dibanding yang tidak. Kayu-kayu sengon memiliki dokumen legal dihargai sekitar Rp 1,2 juta. Sedangkan yang tak bersertifikat, harganya berfluktuasi antara Rp 900 ribu hingga Rp 1 juta.

“Jelas, ini keuntungan bagi kami,” kata Agus.

Selain keuntungan itu, kayu-kayu yang telah memiliki sertifikat memudahkan petani untuk menjual langsung kepada industri.

“Ini memutus rantai perdagangan kayu yang biasanya dijual lewat perantara cukong-cukong,” ungkap Agus.

Keuntungan kayu bersertifikat alias legal yang dinikmati Agus merupakan buah dari penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Menurut Diah Raharjo, direktur program Multistakeholder Forestry Program, sistem ini membantu petani dalam memasarkan produk-produk kayu mereka.

Berbicara di forum diskusi yang diadakan Dewan Kehutanan Nasional menjelang KKI V, Diah menjelaskan, dalam perdagangan internasional sejumlah negara konsumen kayu tropis seperti Jepang, Australia, Amerika dan negara-negara di Uni Eropa mensyaratkan kayu legal.

Kayu yang disebut legal apabila kebenaran asal kayu menyangkut izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan kayu dapat dibuktikan dan memenuhi syarat-syarat sesuai peraturan dan perundang-undangan.

Meski dinilai menguntungkan, kata Diah, sistem ini belum mendapat prioritas pemerintah dan pemangku kepentingan. Ia mencatat beberapa kendala dalam pelaksanaan sistem verifikasi ini.

“Komitmen di tingkat top manajemen masih kurang,” ujarnya.

Kendala lainnya, jumlah dan kapasitas sumberdaya manusia yang belum memadai. Baik konsumen dan produsen kayu masih kurang memperhatikan masalah perizinan.

“Bahkan tidak sedikit yang beranggapan bahwa sertifikasi menimbulkan tambahan beban biaya, dan hasilnya belum pasti bagi perusahaan. Padahal itu tidak benar,” kata Diah seraya menyarankan agar pemerintah segera menerapkan sistem verikasi kayu ini.

Agus sependapat dengan Diah. Ia malah mendesak agar pemerintah menerbitkan peraturan terkait standardisasi perdagangan kayu legal. Sampai saat ini belum ada peraturan yang mewajibkan pembeli kayu agar hanya membeli kayu yang bersertifikat.

“Kalau tidak kewajiban itu, saya sebagai petani jadi bertanya-tanya. Buat apa bikin sertifikat,” kata Agus. (Bintang)

Tinggalkan komentar